Lubuk larangan, bukan mitos tapi fakta, hadir di desa sekitar Sungai Subayang, SM Rimbang Baling. Sorak sorai warga bergemuruh di aliran Sungai Subayang, seiring tarikan jaring. Celoteh antusias menggema di rerimbunan hutan Rimbang baling, saat ikan besar menggelepar tersangkut jaring
Badan sungai tanpa riak, dekat dengan desa merupakan lokasi favorit ikan besar berkeliaran. Inilah yang sering dijadikan warga desa sebagai lubuk larangan, dengan pancang tali di kedua ujung aliran sungai menjadi penanda batasnya.
Tradisi ini muncul kisaran tahun 1980-an, setelah banjir besar menerjang desa-desa disepanjang Sungai Subayang. Alih-alih mengisi kas desa yang kosong, diambilah kesepakatan para ninik mamak untuk memanen ikan di lubuk-lubuk sekitar desa, umumnya bertepatan dengan musim air dangkal (kemarau).
Sebelum hari H, lantak, pancang kayu berjaring, beramai-ramai dibangun warga dikedua ujung lubuk, guna menghalau ikan-ikan besar tetap berada di bagian sungai yang akan di panen
Hari penantian warga desa Tanjung Belit. Setelah doa dilafadzkan Datuk Singo, dibukalah lubuk larangan, ditandai diangkatnya jaring yang telah ditebar semalam. Semua jaring selesai diangkat, Datuk Pucuak (Datuk Singo) desa Tanjung Belit menjadi penebar jaring pertama di lubuk larangan diikuti ninik mamak lainnya.
Andel (pembagian) untuk masyarakat
Ikan besar hasil tangkapan dilelang, dan sisanya dikenakan andel yang dibagikan ke seluruh warga desa. Setiap KK mendapatkan 2 andel senilai Rp. 30.000,- (andel dalam). Untuk warga diluar desa dikenakan 1 andel seharga Rp. 20.000,-
Memasak hasil panen, dan makan bersama menandakan selesainya lubuk larangan. Simpul raut sumringah warga cerminan kebahagian pesta untuk kami, masyarakat penghuni SM Rimbang Baling. Sesaat, menghapus duka harga karet yang merosot tajam, sejalan melemahnya denyut perekonomian masyarakat desa seputaran SM Rimbang Baling.