Mengenal Suara Dugong dengan Pendekatan Bioakustik
Dugong (Dugong dugon) merupakan mamalia herbivora laut dilindungi yang memiliki populasi di Indonesia pada tahun 1970-an berjumlah sekitar 10.000 ekor dan diperkirakan pada tahun 1994 jumlahnya hanya sekitar 1.000 ekor. Berdasarkan Undang Undang Nomor 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Hayati dan Ekosistemnya, dugong dikategorikan sebagai satwa yang dilindungi. Berdasarkan Convention for International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora (CITES), dugong digolongkan dalam Apendiks I yaitu satwa yang dilarang dalam segala jenis bentuk perdagangan internasional. Dugong juga termasuk dalam kategori rentan (Vulnerable/VU) oleh International Union for Conservation of Nature and Natural Resource (IUCN). Hal ini mendorong perlu adanya upaya konservasi dugong dan habitatnya. Salah satunya ialah dengan mempelajari suara dugong melalui pendekatan bioakustik.
Menurut seorang ahli perilaku satwa dan konservasi, Wendy Marie, bioakustik adalah ilmu yang mempelajari suara satwa yang memiliki potensi penting bagi upaya-upaya konservasi. Ilmu ini mampu mendeteksi spesies yang sulit ditemui seperti Dugong. Oleh karena itu, YAPEKA beserta BISA mengikuti serangkaian penelitian bioakustik yang diadakan oleh beberapa lembaga yakni, Laboratorium Satwa Liar UGM dan Cornell University khususnya K Lisa Yang Center for Conservation Bioacoustics.
Pertemuan penelitian bioakustik dilakukan pada 8 November 2023, di Fakultas Kehutanan UGM. Acara ini merupakan simposium bioakustik untuk Indonesia-Malaysia (Symposium for Indonesia-Malaysia BioAcoustics/SIMBA) sekaligus sebagai penutup tahun pertama program bantuan penelitian bioakustik. Penelitian bioakustik dugong merupakan penelitian pertama pada mamalia laut di program ini. Oleh karenanya, penelitian ini merupakan langkah yang luar biasa untuk memperoleh data-data mengenai suara dugong, khususnya di Indonesia.
Selanjutnya, diperkenalkan sejumlah alat yang digunakan dalam penelitian bioakustik. Alat bioakustik untuk satwa laut berbeda dengan alat yang umumnya digunakan untuk menangkap suara-suara pada satwa di darat. Alat yang diperkenalkan pada tim kami bernama Hydromoth yang merupakan perangkat untuk memantau suara-suara satwa yang berada di air. Alat ini mampu merekam suara hingga 2 minggu, tergantung dari setelan frekuensi. Bantuan penelitian ini berupa 6 set alat, 12 buah kartu perekam, beserta hard disk dan pelatihan rutin untuk penelitian suara dugong yang dilakukan oleh tim YAPEKA dan BISA di Pulau Sangihe, Sulawesi Utara.
Penelitian Bioakustik Dugong
Suara yang merambat di dalam air jauh lebih baik jika dibandingkan dengan di udara. Menurut Nontji A. (2015), kecepatan rambat bunyi dalam media air laut adalah sekitar 1500 m/detik bergantung sebaran suhu dan salinitas (kadar garam) dalam laut, sedangkan dalam udara kecepatan rambat bunyi adalah sekitar 330 m/detik. Bunyi dalam laut dapat merambat hingga jarak yang sangat jauh. Oleh sebab itu, dalam komunikasi bawah laut, bunyi atau suara lebih berperan dalam komunikasi antar hewan dari pada lewat penglihatan atau visual.
Beberapa penelitian terdahulu menjelaskan bahwa dugong memiliki berbagai karakter suara untuk berkomunikasi. Secara umum, suara dugong dapat diklasifikasikan menjadi 3 jenis: chirps, barks, dan trills.
Chirps, dapat berfungsi sebagai pemberitahuan kepemilikan wilayah, fungsi jangkauan dalam pertahanan wilayah, atau dapat berfungsi sebagai tanda yang membedakan pasangan atau saingan.
Barks, dapat berfungsi sebagai peringatan atau tantangan terhadap penyusup atau sinyal kesiapan menyerang untuk mempertahankan wilayah.
Trills, dapat berfungsi untuk menunjukkan niat yang tidak agresif, biasanya diasosiasikan dengan pergerakkan, sinyal interseksual (menunjukkan kesiapan untuk kawin, atau menunjukkan kepemilikan wilayah.
Suara dugong umumnya dihasilkan dari getaran pada pangkal tenggorokan (larynx).
Menurut Ichikawa et al. (2005) menjelaskan bahwa suara mesin kapal atau perahu menimbulkan suara dengan frekuensi di bawah 5 kHz sehingga dapat mengganggu komunikasi akustik dugong. Namun penelitian tersebut menunjukkan bahwa dalam keadaan demikian dugong dapat mengubah frekuensi suaranya ke frekuensi yang lebih tinggi untuk menghindari interferensi akustik pada bunyi atau suara yang saling tumpang tindih itu. Oleh karena itu, tim peneliti dugong dari YAPEKA dan BISA Indonesia beserta beberapa relawan melakukan penelitian di Kepulauan Sangihe, Sulawesi Utara. Hal ini dikarenakan pada lokasi tersebut masih terdapat beberapa aktivitas nelayan beserta data-data akurat mengenai perjumpaan dengan dugong.
Penelitian bioakustik dugong dilakukan di dua lokasi yakni Desa Batuwingkung dan Desa Likuang, Kepulauan Sangihe, Provinsi Sulawesi Utara, Indonesia. Pada tanggal 2 hingga 9 Mei 2024, seluruh hydromoth telah diletakkan di beberapa titik lokasi target untuk melakukan perekaman suara. Saat ini tim sedang menganalisis seluruh hasil rekaman yang diperoleh dari kegiatan lapangan. Besar harapannya bagi tim dapat menemukan suara dugong yang masih terlihat di sekitar lokasi penelitian dalam hasil rekaman lapangan.
Sumber:
Ichikawa, K., C. Tsutsumi, T. Akamatsu, T. Shinke, N. Arai, and T. Hara. 2005. Acoustic
detection of dugong using automatic underwater sound monitoring system (AUSOMSD). Proceeding of the 5th SEASTAR 2000 Workshop: 83-86.
Nontji A. 2015. Dugong Bukan Putri Duyung. Jakarta: Puslit Oseanografi – LIPI.